Renungan Teluk Bayur

Sok Piknik

Teluk Bayur sore itu mendung dan sedikit gerimis. Kami bertujuh diam sesaat sambil sesekali melirik aktivitas pelabuhan. Tidak ada yang istimewa, yang ada cuma kapal berlalu lalang dan pemandangan laut yang biasa saja.

Sambil memandang ke arah lautan, Mama-mamaku (Mama, Budhe, dan Bulik aku panggil Mama) dan Ibu (Si Mbah) mulai menuturkan cerita saat Bapak (Mbah Kakung) ditugaskan ke Padang. Bapak dan Ibu terpaksa harus meninggalkan Pakdhe, anak sulung mereka di Salatiga dan ‘hanya’ membawa serta keempat anaknya yang salah satunya masih bayi. Pakdhe saat itu diasuh oleh satu Simbah yang juga menyayangi dan merawat Pakdhe dengan sepenuh hati.

Saat itu perjalanan ke Padang hanya bisa ditempuh lewat laut yang memakan waktu berhari-hari dan harus melewati jalan darat dulu sampai Jakarta. Ibu sebagai istri TNI selalu setia mendampingi Bapak yang harus dinas berpindah-pindah. Awalnya hanya Bapak saja yang ke Padang, tetapi akhirnya Bapak memutuskan untuk membawa serta keluarga. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, pada akhirnya di Teluk Bayurlah kapal mereka menyandar. Hidup baru keluarga Hidayat di Padang saat itu dimulai.

Saat itu tidak ada berbagai macam ‘gadget’ ala Ibu-ibu modern seperti sekarang, apalagi Baby Sitter. Mengasuh dan mengurus anak Ibu lakukan sendiri. Kalau soal ini aku tidak perlu bercerita panjang lebar karena aku yakin kalian yang merasakan jadi Ibu tahu bagaimana ribetnya.

Tidak terbayang saat itu Ibu harus bertahan di lingkungan yang baru dengan berbagai keterbatasan. Yah, untungnya orang jaman dulu rasa kekeluargaannya lebih tinggi. Tidak jarang tetangga membantu Ibu mengasuh Mama-mamaku yang saat itu masih kecil-kecil.

‘Mama’ Budhe berkata kalau generasi sekarang sudah nyaman. Kemana-mana bisa naik pesawat dan akses mudah. Seketika rasanya malu, ingat kalau pesawat kena delay ngomel-ngomel tidak karuan. Orang dulu mana ada ngomel. Kapal gagal jalan yaa harus pasrah nungguin sebisanya kapal jalan. Informasi serba simpang siur dan tidak ada ponsel pintar yang memungkinkan mereka mencari alternatif lain.

Tidak seperti sekarang, di Traveloka bisa asal reschedule seenak perut. Semuanya serba mudah. Siang ada niat ke Bali, malemnya bisa sampai di Bali dengan semua akomodasi siap. Gampang. Apalagi buat para fakir promo yang selalu sigap melihat tiket promo. Jalan-jalan tidak hanya lebih mudah, pastinya lebih murah. Buat Mas-mas, silakan cari istri yang semacam ini. Dijamin hidup jadi lebih banyak pengalaman tetapi pengeluaran tetap terkontrol.

Balik lagi ke renungannya nih. Dari pengalamanku di Teluk Bayur ini aku menyarankan kepada siapapun dari kalian yang saat ini merasa paling susah atau kepercayaan diri sedang berada di titik terendah, segera cari orang tua atau Kakek Nenek kalian. Minta mereka bercerita tentang masa mudanya, aku yakin kalian akan merasa lebih baik. Kalau memang belum merasa lebih baik, aku sarankan segera cari Pegadaian terdekat. Konon mereka bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah. Jangan lupa bawa jaminan biar tidak diusir satpam.

Renungan singkat di Teluk Bayur sampai sekarang masih terngiang. 3 generasi. Ibu, Mama-mama, aku dan Mbakku. Kunjungan singkat napak tilas keluarga hidayat berlanjut ke SD Agnes, sekolah budhe dulu dan ke bekas kantor Bapak. Kantor yang dulu megah itu menjadi hanya satu lantai setelah diterjang gempa Padang.

Pergi, bisa berlibur, business trip, dinas, atau apapun itu, ternyata memang tidak cuma ambil foto, ngedit, dan upload di Instagram. Banyak manfaat buat menempa orang jadi pribadi yang lebih fleksibel dan lebih baik. Kalau orang Jawa bilang: ‘yen ngono ae nesu, berarti dolanmu kurang adoh, balimu kurang esuk, kopimu kurang pait’ itu ada benarnya. Pergilah yang jauh kalau kamu ada kesempatan, biarkan lingkungan yang mengajarkan tentang hidup.

Nah, kalo kamu tidak sempat pergi, lebih baik cepat cari orang tertua di lingkunganmu sekarang. Biarkan Beliau bercerita banyak tentang masa mudanya.

Dan memang, hidupmu saat ini sudah penuh berkat dan kemudahan.

Leave a comment